Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gerakan 30 September G30S/PKI dan Teori Dalang PKI.

Gerakan 30 September G30S/PKI dan Teori Dalang PKI.


    G30S PKI adalah salah satu peristiwa penghianatan terbesar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana gerakan ini bertujuan untuk mengkudeta posisi pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1965.

    Sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara 2 kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan pada saat itu antara PKI dengan AD (Angkatan Darat).

    Pada bulan Juli tahun 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini selesai sementara. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Presiden Soekarno dengan PKI kian dekat. (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010).

Baca juga : PKI Madiun 1948.

    Pada bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan oleh pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti NU (Nahdatul Ulama) dan PNI (Partai Nasional Indonesia) itu telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

    Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit baik di kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi ofensif (menyerang) yang dipilih untuk memenuhi harapannya.

    Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya, partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.

    Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan(Manikebu) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu seperti Komunis, mendapat kecaman yang keras dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI. Soekarno ternyata menyepakati kecaman Lekra terhadap Manifesto Kebudayaan, sehingga membuat Manikebu belum genap setahun sudah dilarang oleh pemerintah.

    Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landeform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut dengan kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya pengambilalihan tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil lama. "Tujuh Setan Desa" karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat jahat desa, dan bandit desa. "Setan Desa" menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).

    Adegan-adegan protes pun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambil-alihan tanah, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali, Jawa Barat, Sumatera Utara massa PKI pun terlibat dalam pertentangan yang sengit, tentu saja para pemilik tanah juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasa dari kalangan tentara. Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur segera saja berhadapan muka dengan para santri NU.

    Di kota-kota tindakan liar juga terjadi. Misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becak di tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan serupa juga pernah terjadi di berbagai kota. Ada pula kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat. (Ong Hok Ham, 1999).

    Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat. Kekerasan semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindakan balasan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.

    Hubungan Angkatan Darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD. Pada bulan- bulan awal tahun 1965 PKI menyerang para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagao kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertangahan tahun 1965, atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin intensif.

Latar Belakang Pemberontakan G30S/PKI


    Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AU-AL-Polisi yang dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama hubungan antara PKI dengan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka. Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro RRC (Republik Rakyat China) yang komunis di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Dan pada akhirnya, usulan ini memang tidak pernah disetujui dan direalisasikan.


    PKI kemudian meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan "Dokumen Gilchirst" yang ditandatangani oleh Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai syarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta. Meski kebenaran dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah Dewan Jenderal ini saat Presiden Ir. Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan antara PKI dengan AD kini telah mencapai level yang akut. Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha mengehentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Ahmad Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan Katolik.

    Peristiwa Menjelang G30S/PKI.

    Sementara itu di Mantningan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed, 2012:139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi 4 bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau mental peserta Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.

    Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain anti PKI peun telah panas menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Junli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter China yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Presiden Soekarno menyimpulkan kemungkinan Presiden Soekarno akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI pada tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI memutuskan untuk bergerak.

    Dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, komandan pasukan Cakrabirawa yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan "Gerakan 30 September" dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya di Jakarta. Mereka adalah 


  1. Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD).
  2. Mayor S. Jenderal Parman.
  3. Mayor Jenderal Soeprapto.
  4. Mayor Jenderal MT. Haryono.
  5. Brigadir Jenderal DI Panjaitan.
  6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
  7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
    Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September 1965 juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan kolonel Sugiono.

    Pada berita RRI pagi harinya, Letnan Kolonel Untung lalu menyatakan pembentukan "Dewan Revolusi", sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.

    Dalam situasi tidak menentu itulah Panglima Komando Angkatan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Menteri/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia terhadap Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka didaerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan 30 September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas dan menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

    Teori Siapa Dalang G30S/PKI.

     Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan kontroversi. Utamanya adalah yang berhubungan dengan pertanyaan "Siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?"

1.  Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD)

    Dikemukakan oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S PKI hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini meisalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sendiri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

2. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelejen Amerika Serikat (CIA).

      Teori ini berasal dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok didalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI di hancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.

3. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.

      Teori ini dikemukakan oleh Greg Poulgrain. Menurut teori ini  G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap konfrontatif Presiden Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Presiden Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris.

4. Soekarno adalah dalang Gerakan G30S/PKI.

    Teori ini dikemukakan oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian besar perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret.

    Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya pergi untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata "sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang".

    Disini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada "peristiwa besar" esok harinya. Namun, teori ini bertolak belakang dengan tindakan Soekarno yang kemudian menolak mendukung G30S/PKI. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia secara tegas mengutuk gerakan ini.

5. Tidak ada Pemeran Tunggal dan Skenario Besar dalam Peristiwa G30S/PKI.

    Dikemukakan oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil perpaduan, seperti yang disebutkan Soekarno "Unsur-unsur Nekolim, pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar". Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.

6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI sendiri.

    Menurut teori yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965.

    Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten.

    Namun, terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S/PKI, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan diri sebagai penguasa tunggal di Indonesia.

Demikianlah penjelasan mengenai G30S/PKI yang merupakan sejarah yang akan dikenang oleh masyarakat Indonesia. Sebuah tindakan yang kejam dan membunuh para petinggi militer.

    Terimakasih telah mengunjungi blog saya. Jangan lupa follow dan subscribe. 

Post a Comment for "Gerakan 30 September G30S/PKI dan Teori Dalang PKI."