Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dualisme Kepemimpinan Nasional antara Soekarno dan Soeharto.

 Dualisme Kepemimpinan Nasional antara Soekarno dan Soeharto.


    Memasuki tahun 1966 terjadi gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat sebagai presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan rakyat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno hingga 2 kali oleh MPRS. Sementara itu, Soeharto sehari sesudahnya membubarkan PKI namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Presiden Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk Kabinet yang diberi nama Kabinet Ampera.

A. Latar Belakang Dualisme Kepemimpinan.

    Meskipun Presiden Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, akan tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya "Dualisme kepemimpinan nasional", yaitu Presiden Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya "Dualisme Kepemimpinan nasional" ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik didalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Presiden Soekarno dan pendukung Letjen Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

    Dalam sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni samapi Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno . Bahkan sebaliknya secara hukum Letjen Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Presiden Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.


    Dalam sidang itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogratif Soekarno selaku presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa "Pemimpin Besar Revolusi" tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul "Nawaksara".

B. Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno.

    Pada tanggal 22 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato "Nawaksara" dalam persidangan MPRS. "Nawa" berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti 9, dan "Aksara" berarti huruf atau istilah. Pidato itu berisi 9 pokok persoalan yang dianggap penting oleh Presiden Soekarno selaku Mandataris MPRS. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 Septermber 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumblah jenderal TNI-AD itu tidak memuaskan anggota MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk meminta Presiden Soekarno melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya epilogi mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G30S/PKI beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi dan akhlak.

    Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Nawaksara itu Presiden Soekarno mengemukakan bahwa Mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebuah progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

    Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program Kabinet Ampera antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin kabinet. Akan tetapi, pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letjen Soeharto.

C. Akhir Dualisme Kepemimpinan Nasional.

    Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh "Pelengkap Nawaksara" dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaannya kepada pengemban Ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Letjen Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.

    Salah seorang sahabat Presiden Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung reda. Mr. Hardi menyarankan agar Presiden Soekarno sebagai Mandataris MPRS, menyatakan non-aktif didepan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah "Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966".

    Kemudian, Presiden Soekarno menulis nota pribadi kepada Letjen Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Letjen Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden Soekarno bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak menyelesaikan situasi konflik. kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.

    Presiden Soekarno menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Letjen Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno menolak usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari minggu tanggal 19 Februari 1967. Presiden menyetujui draft tersebut dan pada tanggal 20 Februari 1967, draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya sebagai Presiden RI.


    Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden RI oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjabat sebagai pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden RI pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap MPR No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan menjadi Presiden RI hingga terpilih presiden MPR hasil Pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.

    Demikian penjelasan mengenai Dualisme Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan Soeharto. Terimakasih sudah berkunjung.

Post a Comment for " Dualisme Kepemimpinan Nasional antara Soekarno dan Soeharto."