Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masa Transisi Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru 1996-1967.

 Masa Transisi Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru 1996-1967.


    Lahirnya pemerintahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin Menurun.

    Pada tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggotanya antara lain, HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII).

    Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan yang terjadi pada masa itu. Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi, dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Presiden Soekarno agar menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.

A. Aksi-Aksi Tritura (Latar belakang dan tujuan).


    Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.

    Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menimbulkan keresahan masyarakat.

    Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda pemuda, mahasiswa, dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (Sarjana), KAWI (Wanita), KAGI (guru), dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politisi yang terlibat G30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.

    Setelah lahirnya Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah luas. Situasi menjurus ke arah konflik politik semakin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap keadaan pada saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR dengan mengajukan 3 buah tuntutan, yaitu :
  1. Pembubaran PKI.
  2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI.
  3. Penuruna harga/perbaikan ekonomi.
    Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden Soekarno. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena didalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat didalam peristiwa G30S/PKI.


    Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Januari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan menuju Istana Merdeka.

    Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrokan antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim sebagai akibat dari aksi itu. Keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Januari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.

Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan "Ikrar Keadilan dan Kebenaran" yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak terkendalikan. Dalam hal itu, mahasiswa membentuk Resimen Arieh Rachman Hakim untuk melanjutkan aksi KAMI.

    Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang menegangkan, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak-abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat China (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga Presiden Soekarno mengeluarkan perintah harian agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha "membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan", dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan presiden, serta memperhebat "pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek "British Malaysia".

B. Resimen Cakrabirawa.


    Resimen Cakrabirawa merupakan kesatuan pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan Soekarno.

    Namun, sebagian anggota resimen ini berhasil dipengaruhi PKI dan ikut terlibat dalam peristiwa G30S/PKI 1965. Diantara mereka yang terlibat, adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, salah seorang komandan Cakrabirawa yang justru menjadi pemimpin G30S/PKI saat melakukan penculikan terhadap perwira tinggi AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.

    Pada zaman pemerintahan Soeharto, resimen ini resmi dibubarkan. Untuk mengawal presiden, dibentuk kemudian Kesatuan baru Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden).

C. Surat perintah Sebelas Maret (Supersemar).


    Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju Istana Merdeka.

    Belum lama Presiden Soekarno berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar Istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir pada waktu itu bahwa keadaan tetap aman, namun Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr. Subandrio dan Waperdam III Dr. J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.

    Sementara itu, 3 orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahman, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu meminta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku Panglima Kopkamtib. Pada waktu itu Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya, Mayjen Basuki Rahman menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto menjawab :"sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti".


    Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya G30S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik pada saat itu. Menurut Letjen Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat terpenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkim membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. 

1. Latar Belakang Supersemar.

    Adapun beberarapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya Supersemar, antara lain :
  1. Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting.
  2. Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G30S/PKI.
  3. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.
    Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Letjen Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden Soekarno. Pesan Letjen Soeharto yang disampaikan kepada ketiga perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.

    Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau SP 11 Maret atau (Supersemar).

    Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen Soeharto. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada Presiden Soekarno. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

    Tindakan pertama yang dilakukan oleh Letjen Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengan PKI di seluruh Indonesia, terhitung sejak 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah berhasil dilaksanakan.

    Selain itu, Letjen Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G30S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan itikad tidak baik didalam penyelesaian masalah itu.

    Demi lancarnya tugas pemerintahan, Letjen Soeharto mengangkat 5 orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. kelima orang tersebut ialah :
  1. Sultan Hamengkubuwono IX.
  2. Adam Malik.
  3. Dr. Roeslan Abdulgani.
  4. Dr. K. H. Idham Chalid.
  5. Dr. J. Leimena.
       Demikian penjelasan mengenai Masa Transisi dari Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru yang merupakan awal mula lahirnya Supersemar. Terimakasih sudah berkunjung.

Post a Comment for "Masa Transisi Demokrasi Terpimpin menuju Orde Baru 1996-1967."