Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia.

Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia.


    Ekonomi Liberal sesudah pengakuan kedaulatan, Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat dampak dari disepakatinya ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan yang nilainya jauh dibawah produksi pada era sebelum Perang Dunia II.

        Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumblah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumblah penduduk dengan tingkat hidup rendah. Beban berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan.


    Pada era ini, pemerintah mengalami defisit sebesar Rp. 5,2 Miliar. Defisit ini sebagian besar berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea. Namun, sejak tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.

    Disisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat. Disamping itu, pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh pemerintah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha untuk mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan drastis.


    Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung, dan percetakan. Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan penanaman modal asing.

Baca juga : G30S/PKI.

    Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirimkan delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finasial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada tanggal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah Belanda sebagai berikut :
  1. Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB.
  2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
  3. Hubungan Finek didasarkan atas Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lainnya.
    Namun, usul Indonesia tidak diterima oleh Pemerintah Belanda sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Februari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.

    Upaya yang dilakukan adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara pada masa Kabinet Ali Sastroamidjoyo II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk dijalankan.

    Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini mendorong meningkatnya persentasi defisit anggaran pemerintah, dari angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.

    Demikian penjelasan singkat mengenai Sistem Ekonomi Liberal. Sekian dan terimakasih telah berkunjung.

Post a Comment for "Pengertian Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia."