Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Politik Luar Negeri dari Masa Demokrasi Parlementer, Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Era Reformasi

 Politik Luar Negeri dari Masa Demokrasi Parlementer, Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Era Reformasi.

politik luar negeri bebas aktif.

    Beberapa penjelasan mengenai politik luar negeri Indonesia dari masa ke masa pemerintahan atau sistem pemerintahan.

1. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlementer 1950-1959.

politik luar negeri demokrasi parlementer

    Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950-an, lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya. Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.

    Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia untuk mencapai kepentingannya. Pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.

    Sejak pertengahan tahun 1950-an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumblah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan menomental, seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/NAM). Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi 2 kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat dan Sekutu) dan Blok Timur (Uni Sovyet dan Sekutu). Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.

2. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965.

politik luar negeri demokrasi terpimpin.

    Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flamboyan, dan heroik yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada era ini, diabadikan pada tujuan nasional Indonesia. Pada saat itu kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa. Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia, dan untuk menunjukkan karakter yang dimiliki pada bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

    Politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin juga bersifat Revolusioner. Presiden Soekarno berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan nasionalnya yakni Nasakom (Nasionalis, agama, dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke Blok Timur, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar.

    Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia akibat pembentuka Federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat.

    Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia, hingga pada akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak ke Blok Barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan internasional.

    Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontatif penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu "Oldefos" (Old Estabilished Forces) dan "Nefos" (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat.

    Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politik Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta-Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-negara sosialis dan komunis seperti China.

    Faktor dibentuknya poros ini antara lain,
  1. Karena Konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawanan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China.
  2. Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Sovyet (sekarang Rusia).
    Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan adanya usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia.

    Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status, dan prestis menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktifitas politik luar negeri ini. Efek samping dari usaha keras keluar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik.

    Soekarno gencar melancarkan politik luar negeri namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyataannya morat-marit akibat inflasi yang terjadi secara terus menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

3. Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Orde Baru.

politik luar negeri orde baru

    Pada masa awal Orde Baru, terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia dalam segala bidang. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan baik dengan pihak-pihak Barat dan "good neighbourhood policy" melalui Association South East Asian Nation (ASEAN).

    Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Indonesia saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa abad yang akan datang. Tujuan utama politik luar negeri Presiden Soeharto pada awal penerapan New Order (tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya.

    Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yaitu ;

    "Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah asalannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik, ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis". "Sumber : Kumpulan Pidato Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech).

    Seperti yang telah disebutkan diatas, dalam bidang politik luar negeri kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

    Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya yang mengakui Malaysia sebagai suatu negara.

    Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Dalam pembentukan ASEAN, Indonesia memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEA. ASEAN merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerjasama ASEAN dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia. Ada kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan sikap non komunis. Dengan demikian, stabilitas negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting. Asean dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini.

    Pemerintahan Presiden Soeharto mencoba membangun Indonesia sebagai salah satu negara industri baru di kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan Asia Baru. Disamping itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak bagi investasi industri.

    Presiden Soeharto memakai Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC atau Asia-Pacific Economic Cooperation) untuk memproyeksikan diri kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerjasama antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antara lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua Gerakan Non-Blok pada tahun 1992, setidaknya memberikan pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.
Logo APEC.

    Selain Asean, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara produsen atau penghasil minya dalam OPEC atau Organization of The Petroleum Exporting Countries. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia.

Logo OPEC.

    Kepemimpinan Presiden Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Soekarno. Diparuh pertama kepemimpinannya, Soeharto cenderung adaptif dan low profile. Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile. Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin mensejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif di dalam negeri dan akomodatif di luar negeri.

4. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi.

politik luar negeri era reformasi

    Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi akibat transisi pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.

    Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J. Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds atau IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.

    Pada masa pemerintahannya Presiden Abdurrahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua, dan isu perbaikan ekonomi.

    Diplomasi era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diserahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tidak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. Ancaman integrasi nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan diprioritaskan.

    Era pemerintahan Presiden Megarati. Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-5 pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk dan kondusif. Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.

    Belajar dari pemerintahan presiden sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi serta diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di tanah air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan dan Timor Barat.

    Pada era pemerintahan Presiden Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Presiden Megawati.

    Pada era pemerintahan Presiden SBY yang dilantik menjadi Presiden Ri ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY merupakan Presiden Indonesia yang pertama dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat.

    SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah "mengarungi lautan bergelombang" bahkan "menjebatani dua karang". Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai inisiatif Indonesia untuk menjebatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. Indonesia tidak pandang bulu bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.

    Ciri politik luar negeri Indoensia pada masa pemerintahan SBY, yaitu :
  1. Terbentuknya kemitraan strategis dengan negara-negara lain, seperti China, Jepang, dan India.
  2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia internasional.
  3. Bersifat pragmatis, kreatif, dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja, baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional yang bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
  4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, dan properity. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.
    Demikian penjelasan mengenai "Politik Luar Negeri dari Masa Demokrasi Parlementer, Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Era Reformasi. Terimakasih sudah berkunjung ke artikel saya.

Post a Comment for "Politik Luar Negeri dari Masa Demokrasi Parlementer, Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Era Reformasi"