Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

 Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru.


    Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden sepenuhnya. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.

    Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan sesuai Tap MPRS No. IX/1966, Stabilitas Ekonomi sesuai dengan Tap MPRS No. XXIII/1966, dan Pemilihan Umum sesuai dengan Tap MPRS no. XI/1966.

    Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Diantara penyimpangan ttersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

    Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam, Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk didalam nya deSoekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk dilembaga-lembaga stabilisasi seperti : Kopkamtib pada 1 November 1965, Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional pada 11 Agustus 1966, dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional pada 1 Agustus 1970.


    Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan "Poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang" ke politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Tujuan dari politik luar negeripun diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.

    Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966. Disamping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1966 keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina membentuk organisasi kerjasama regional yang diberi nama ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 19567. Tujuan pembentukan ASEAN adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

1. Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan.


    Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktifitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi :
  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasil melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu).
  2. Menyusun dan Merencanakan Repelita.
  3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971.
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
  5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
    Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat meliputi Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan 'pelemahan' atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara histori dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.

    Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian dikenal dengan nama Golkar.

    Berdasarkan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan Pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, Pemilu baru dapat diselenggarakan pada tahun 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana Pemilu dibentuk dan ditempatkan dibawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta Pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumblah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu NU, Parmusi, PSII, Perti, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Rakyat Musyawarah Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar.

    Adapun perolehan suara hasil Pemilu 1971 adalah sebagai berikut :
  1. Golkar dengan perolehan 236 kursi atau 62,82% suara.
  2. NU dengan perolehan 58 kursi atau 18,68% suara.
  3. Parmusi dengan perolehan 24 kursi atau 5,56% suara.
  4. PNI dengan perolehan 20 kursi atau 6,93% suara.
  5. PSII dengan perolehan 10 kursi atau 2,39% suara.
  6. Parkindo dengan perolehan 10 kursi atau 2,39% suara.
Sumber Anhar Gonggong ed, 2005:150).

    Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyerdehanaan partai politik dengan alasan-alasan tertentu, seperti kasus pada masa "Demokrasi Parlementer". Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan,justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan didalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam.

    Atas dasar itu, pemerintah berpendapat bahwa perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.

    Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. 9 Partai yang ada berfusi ke dalam 2 partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 4 Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama, Parmusi, PSSI dan Perti bergabung ke dalam PPP. Sementara itu 5 partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, partai Katholik, Partai Murba dan IPKI bergabung ke dalam PDI. Selain kedua partai tersebut ada pula partai Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Kelompok tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (sumber Gonggong dan Asy'arie, ed, 2005).

    Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep "massa mengambang". Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai di pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).

    Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan Pemilu sebanyak 6 kali yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali, yaitu, tahun 1971,1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.556.776 pemilih untuk memilih 460 anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.

    Semua Pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintahan (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

    Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai bawah, dari kota sampai pelosok desa.

    Penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa Demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi Pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan "Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia)". Suara-suara dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.

    Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasainya jumblah partai-partai politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.

    Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan politik) di tingkat kecamatan dan didesa dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya malapetaka peristiwa 15 januari (Malari) tahun 1974.

    Peristiwa 15 Januari 1974.

    Menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki. Proyek senen, gedung Toyota Astra, sejumblah toko milik pedagang China di jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis akibat aksi tersebut. Geger Jakarta mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintahan, karena itu diberi nama julukan Malapetaka 15 Januari yang populer dengan Malari (Sumber : R.P Soejono ed, 2009:637).

    Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktifis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintahan. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah ini mulai terjadi awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kebijakan kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya.

    Pada akhirnya Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor jepang, dinilai merugikan rakyat. Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, ke Indonesia pada tanggal 14 januari 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemonstrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.

    Kemudian setelah PM Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar. (Sumber Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 diantaranya dipenjara.

    Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluakannya SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar.

    Selain pengembalian setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan, dan ketatanegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map ideologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.

    Adapun isi dari Trilogi Pembangunan, yaitu :
  1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
    Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.

    Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.

    Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi, dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab". Kebebasan seseorang yang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.

    Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal peemrintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

2. Stabilisasi Penyeragaman.


    Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian pada pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh masyarakat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

    Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (4P) dipandang sebagai janji teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan 5 cita-cita yaitu,
  1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan.
  2. Mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang.
  3. Mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi.
  4. Demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah.
  5. Suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.
  6. (Sumber : Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005:159).
    Presiden Soeharto kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya pada 21 Maret 1978, rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No. II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk Komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berpusat di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.


    Tujuan Penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila, sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat pada pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinisasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

    Pegawai negeri (Termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik baru.

    Melalui Penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah "suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)". Menurut pemerintah Orde Baru, "sara" merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan SARA. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam, dengan kaitan yang lebih halus harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan SARA. Meskipun demikian, akhirnya konflik yang berkaitan dengan SARA itu tetap tidak dapat dihindarkan.

    Pada tahun 1992, misalnya terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005:640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritikan datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyaknya peserta P4 pada umumnya merasa muak dengan P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto agar masalah P4 ditinjau kembali.

    Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan "asas tunggal". Gagasan asas tunggal ini disampaikan Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara HUT Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta, 16 April 1980.

    Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama. Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR 'asas tunggal' akhirnya diterima menjadi Ketetapan MPR yaitu, Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No. 3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. 4 bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan UU No. 8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu, tidak ada lagi orsospol yang berasaskan selain Pancasila, semua sudah seragam. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup "Bhineka Tunggal Ika", dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.

3. Penerapan Dwi Fungsi ABRI.


    Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai "jiwa, tekad, dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggungjawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya di bidang hankan namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

    Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia sekaligus berfungsi di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Presiden Soeharto, fungsi utama ABRI adalah sebagai kekuatan militer Indonesia yang memang tidak dapat dikesampingkan, namun juga peran ABRI dalam bidang politik terlihat signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.

    Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya  adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak 1/5 dari jumblahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggungjawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggungjawab langsung kepada Panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah mulai dari Jakarta sampai ke daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umuum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi.

    Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mualisme (saling menguntungkan). Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya pada tanggal 4-9 September 1973, ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.

    Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumblah besar baik dalam DPR dan MPR melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektifitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR, serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.

    Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari :
  • Banyaknya jabatan pemerintahan yang mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang "dikaryakan'.
  • Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di Parlemen, ABRI bersama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai "partai politik" yang berkuasa pada waktu itu.
  • ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

4. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru.


    Seperti yang telah diuraikan diatas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumblah 2,358 juta dollar AS. Dengan perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US$1.404 juta), blok barat (US$ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan Internasional.

    Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat diatas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.

    Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperflansi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.

    Untuk menanggulangi masalah hutang piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negoisasinya ke Paris, Prancis (Paris Club) untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London, Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan di Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta US$ terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasikan oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

    Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktifitas mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakkan roda pembangunan nasional.

    Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Gouvernmental Group on Indonesia (IGGI). Proses pembentukan IGGI yang diawali oleh suatu pertemuan antara para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai Ketuanya.

    Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia dan bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.

    Upaya lainnya adalah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No. 6/1968. Satu hal dari UUPMDN adalah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres No. 286/1968 badan itu berubah menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.

    Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukkan hasil positif. Hiperflansi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% pada tahun 1967, dan 80% pada tahun 1968, sehingga pada tahun itu juga diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun 1969. Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% tahun 1969, 12% tahun 1970, dan 10% bahkan 8,88% pada tahun 1971.

    Demikian Penjelasan mengenai Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi Orde baru. Terimakasih sudah berkunjung.

Post a Comment for "Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru"